Sabtu, 19 Mei 2012

Iman dan Nalar, apakah cukup?

Pernah dengar orang mengatakan bahwa agama adalah sesuatu yang tak perlu dipikirkan hanya perlu di imani? Tidak perlu mempertanyakan, cukup dipercaya saja. Agama itu asalnya dari Tuhan, jadi pasti benar dan harus ditaati. Di lain sisi, pernahkah anda mendengar statement bahwa agama harus dipikirkan terlebih dulu sebelum bisa di amalkan dengan benar? Jangan asal mentaati agama tanpa memikirkan terlebih dahulu apa maksud ajarannya. Pikirkanlah kenapa agama itu mengajarkan seperti itu, apa alasannya? Statement manakah yang menurut anda benar? Agama itu harus diimani atau harus di teliti dengan nalar?

Sekarang mari kita definisikan apa itu iman. Menurut kitab suci, iman itu adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" ( Ibrani 11:1 ). Di dalam Islam, definisi Iman yang saya dapat dari Wikipedia adalah, antara lain, seperti yang diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota. Persamaan dari keduanya adalah mempercayai sesuatu yang kita tidak bisa lihat, dan untuk urusan Tuhan, sesuatu yang kita tidak bisa buktikan.

Lalu bagaimana dengan nalar? Definisi yang saya dapat adalah pertimbangan tentang baik buruk dsb; akal budi: setiap keputusan harus didasarkan -- yg sehat; (2) aktivitas yg memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; kekuatan pikir.
Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/nalar#ixzz1bcTXVWLo.
Yang saya pentingkan disini adalah kata pertimbangan dan logis. Jadi nalar adalah system pertimbangan yang dipakai manusia untuk berpikir logis.

Mari kita pakai nalar kita untuk memikirkannya. Kalau umat beragama hanya memakai iman, maka hasilnya adalah permusuhan antar umat beragama karena setiap umat akan berpikir agamanya yang paling baik dan benar. Kalau umat beragama hanya memakai nalar, hasilnya adalah pembunuhan Tuhan karena konsep keTuhanan tidak sepenuhnya bisa dimengerti dengan nalar.

Jadi harus bagaimana?

Bagaimana kalau kita tambahkan satu unsur lagi? Kita masukan NURANI dalam perumusan tersebut sebagai jembatan antara iman dan nalar. Nurani di definisikan sebagai perasaan hati yg murni yg sedalam-dalamnya; lubuk hati yg paling dalam.
Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/nurani#ixzz1bdXuJiWt

Nalar cenderung berhubungan dengan sesuatu yang real, sedangkan nurani lebih mengarah pada perasaan, kata hati, seseorang. Jadi letaknya nurani ada diantara iman dan nalar. Kalau umat beragama menyatukan iman, nurani dan nalar, hasilnya adalah umat yang bisa mengambil konsep keTuhanan dengan imannya, bisa memilah mana ajaranNya yang harus diterapkan dengan nuraninya dan mengerti bagaimana cara menerapkannya sesuai nalarnya. Jika agama saya mengatakan, umat agama lain tidak akan bisa masuk surga, tapi pada kenyataannya mereka jauh lebih memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dan kebenaran, apakah nurani saya akan tetap mengatakan bahwa mereka tidak akan masuk surga? Kalau nurani saya berfungsi dengan baik, seharusnya saya bisa mengakui bahwa penafsiran saya atas agama saya salah, dan saya harus lebih banyak belajar lagi. Dengan nalar, saya bisa memikirkan kenapa mereka bisa lebih baik dari saya dan bagaimana saya, paling tidak, bisa sebaik mereka.

Tulisan ini mungkin tidak sempurna dan saya tidak pernah bermaksud untuk mendidik atau menanamkan dogma. Saya berharap ini bisa menjadi suatu input yang positif bagi orang yang mempunyai pikiran positif. Saya sadar sifat manusia akan mempengaruhi semua judgementnya, termasuk nuraninya, sehingga tercermin dalam pelaksanaan imannya.

2 komentar:

  1. Iman, nalar dan uang, sepertinya sedikit lebih realistis.

    BalasHapus
  2. Iman, Nalar, dikasih makan dan dipijetin....

    BalasHapus